Tuesday 25 January 2011

biografi intelektual muslim

BAB II
PEMBAHASAN

A.Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Mesir

Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern[ ].Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi
Pada masa hidup Hanafi, Mesir mengalami berbagai transformasi besar. Saat Ia dilahirkan pada tahun 1935, Angkatan Bersenjata Inggris memiliki arti penting di negara itu. Selama masa kecilnya, pengalaman Perang Dunia II membentuk semangat Nasionalisme Mesir. Mesir merupakan pusat militer utama bagi usaha perang kelompok AS, dan Angkatan Bersenjata Inggris serta Amerika terlihat hampir di seluruh aspek kehidupan warga Mesir kota. Masuknya Jerman di Afrika Utara mengakibatkan perang di Mesir pada tahun 1942 dan membangkitkan harapan bagi sejumlah pemuda Mesir bahwa bangsa Inggris pada akhirnya dapat terusir.
Setelah perang dunia II, Mesir menghadapi dua masalah utama. Pertama, berkembangnya semangat nasionalis yang menggabungkan tema oposisi nasionalis Mesir yang menentang pendudukan Inggris dengan antusiasme Pan- Arab baru yang muncul. Pada tahun 1947- 1948 , fokus utama paham nasionalis Mesir- Arab baru ini adalah pembentukkan Negara Israel.


Mesir berperan dalam perang Arab melawan negara baru, dan kekalahan pada konflik ini menimbulkan masalah besar kedua pada pasca perang di Mesir, yaitu meningkatkan korupsi dan ketidakmampuan elit politik serta kompetensi negara yang mereka jalankan. Disamping dinamisasi peningkatan nasionalisme terdapat perkembangan perasaan bahwa revolusi perlu dilakukan. Nasionalisme dan revolusi menjadi tema utama pada akhir tahun 1950-an.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940 an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Mengejutkan sekali, ketika” revolusi” benar- benar terjadi pada tahun 1952, revolusi itu dipimpin oleh seorang anggota militer muda. Sejumlah pemimpin- pemimpin ini adalah komunis, dan yang lainnya telah tergabung dengan brotherhood, tetapi aspirasi utama dari anggota kepemimpinan bukanlah komunis dan juga bukan Islam. Ideologi dan program yang muncul dari rezim revolusioner baru tersebut mengkombinasikan Pan – Arabisme dan paham sosialis radikal gaya- gaya baru yang muncul di Dunia ketiga pada tahun 1950-an. Sosok utama dari pergerakan “ Sosialisme Arab ” di Mesir adalah Jamal Abd. Al- Nasir ( “ Nasser ”) yang merupakan jantung kelompok pegawai- pegawai muda mulai awal dan presiden Republik Revolusioner baru pada tahun 1956, memimpin Mesir sampai meninggal dunia pada tahun 1970. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin ( brotherhood).
Akan tetapi, di tubuh Ikhwan pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanafi kembali disarankan oleh para anggota Ikhwanu untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas cara ber¬pikir kalangan muda Islam yang terkotak kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial.


Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip” Keadilan Sosial dalam Islam”.[ ]
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Kejadian kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Kejadian besar yang membentuk berbagai aspek kehidupan politik di dunia Arab pada tahun 1960- an adalah perang 6 hari pada tahun 1967. Seperti halnya anak- anak lain pada generasinya, Hanafi mengalami suatu pendalaman intelektual dan pengkajian kembali berbagai ideologi. Bagi Mesir, kekalahan yang diikuti meninggalnya Nasser pada tahun 1970,membawa ke arah kepemimpinan yang secara konseptual kurang ideologis dan lebih bersifat “pragmatis’’ yaitu di bawah kepemimpinan Sadat. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah ia peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menangggapi masalah masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam yang diinspirasi dari ide- ide sayyid Qutb dan yang lainnya seperti dia.


Kepergiannya ke Amerika, sesungguh¬nya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitas¬nya itu atau pergi ke Amerika Serikat.
Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antaragama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaru¬an pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan anti pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. L.Pragmatisme Sadat menghasilkan perjanjian damai dengan Israel, dan munculnya ekstrimis- ekstrimis Islam merespon ancaman tersebut, yang berakibat pembunuhan terhadap Sadat terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui tulisan tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. Tetapi, krisis pembunuhan terhadap Sadat ( presiden ) tidak berpengaruh terhadap revolusi Islam ekstrimis utama atau serangan balasan sekuler yang signifikan. Bahkan arus politik di Mesir menjadi lebih berorientasi Islam , dengan gerakan utama mengarah pada Islamisasi undang- undang dan Islamisasi yang signfikan terhadap berbagai ilmu atau kehidupan masyarakat.
Pada tahun 1990-an banyak bintang televisi terkenal dan yang berpengaruh yang berkependidikan Islam konservatif menyampaikan pesan- pesan , yang jika disampaikan pada tahun 1960-an di Mesir, akan membuat penyampainya di penjara, atau mungkin di bunuh ( dieksekusi ). Orang- orang tertua dalam muslim brotherhood, seperti Muhammad al- Ghazali memainkan peran yang lebih penting dalam kehidupan politik bangsa Mesir, sedangkan kepemimpinan intelektual sekuleris dibatasi dan sering diancam dengan kekerasan oleh para Islamis militan.
Misi dan perspektif umum Hassan Hanafi terlihat konsisten selama paruh ke abad- 20. Namun demikian, perubahan dramatis dalam konteks politik dan kehidupan intelektual Mesir menantang pekerjaannya dengan cara- cara yang berbeda. Pada awal kehidupannya, sebagai seorang mahasiswa, dan seorang intelektual muda, ia melihat tantangan yang berasal dari komunis, dan kemudian dari sekuler kiri.

Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir.
Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelek¬tual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuan¬nya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan persoalan besar umat Islam.

B. Perkembangan Pemikiran dan Karya Karya Hassan Hanafi
Hassan Hanafi menulis sebuah catatan autobiografis yang memberikan suatu pengenalan yang jelas lebih baik untuk kehidupannya maupun untuk persepsinya sendiri mengenai misi pribadi. Di dalam autobiografinya ini, hidupnya ditandai dengan serangkaian perkembangan kesadaran. Masing- masing priode dalam hidupnya bertepatan dengan suatu era besar dalam sejarah Mesir kontemporer. Meskipun kesadaran tersebut bersifat global, definisi diri dalam autobiografinya tetap berkaitan erat pada akar bangsa Mesir. Autobiografi ini juga menyebutkan secara tidak langsung keluarganya dan kehidupan keluarganya di Mesir, tetapi bidang aktivitas utama di dalam catatan ini adalah partisipasi Hanafi di dalam kelompok nasional, bukan kehidupan di dalam keluarganya.
Kesadaran pertama yang diidentifikasikan oleh Hanafi adalah perkembangan sebuah “ Kesadaran Nasional” pada waktu itu dia masih di Sekolah Dasar. Masa kecilnya yang mengalami Perang Dunia II , termasuk meninggalkan Kairo, untuk mengungsi dan menyelamatkan diri dari serangan pemboman Jerman, menimbulkan sebuah kesadaran bahwa Mesir sebagai tanah air yang sedang di serang- tetapi musuh yang sebenarnya bukanlah Jerman, melainkan Inggris yang tentaranya telah menduduki Mesir pada tahun 1882. Pada tahun- tahun setelah perang, siswa- siswa Mesir di semua kalangan dan tingkat merupakan sebuah elemen penting dalam perkembangan demonstrasi nasionalis.
Bagi Hanafi, “awal kesadaran nasional yang sebenarnya” terjadi pada tahun 1948 dengan pembentukan Negara Israel serta pecahnya perang di Palestina[ ].
Pada tahun 1950-an, nasionalis Hassan berkembang kearah yang lebih Islami. Ketika negara menuju kudeta yang membuat anggota militer muda berkuasa pada tahun 1952, Hanafi bergabung dalam brotherhood dan memasuki apa yang disebut “ Awal Kesadaran Agama”. Secara khusus dia aktif sebagai Muslim Brother pada saat dia belum lulus dari Universitas Kairo.Dia berpartisipasi dan aktif dalam politik mahasiswa di awal masa era revolusioner baru. Dia sangat menentang komunis yang menurutnya “ Dianggap korup dan menyimpang dari jalur yang benar, aneh, asing, memiliki kecenderungan yang jauh dari kebenaran, serta tidak bermoral.[ ]
Pemikiran dan visi Hanafi mengenai apa yang diperlukan mencapai dimensi Islam yang jelas pada tahun- tahun ini. Posisi politisnya merefleksi muslim brotherhood. Di berperan dalam demonstrasi- demonstrasi menentang persetujuan 1954 dengan Inggris Raya yang mengatur evakuasi tentara Inggris, yang diijinkan kembali pada saat perang. Tetapi, setelah nasionalisasi Terusan Suez pada 1956, dia merasa mampu mendukung pemerintah sebagai seorang pemimpin diantara pergerakan- pergerakan liberal. Penindasan- penindasan terhadap brotherhood yang dilakukan oleh pemerintahan Nasser pada pertengahan tahun 1956 –an menimbulkan berbagai kesulitan. Hanafi mengatakan “aktivitasnya dibatasi hanya untuk mengumpulkan kontribusi bagi keluarga- keluarga ” dari brother yang dipenjara dan dia” tidak berperan dalam berbagai aktivitas rahasia, karena hal tersebut bertentangan dengan sifat saya”.
Namun demikian, perkembangan intelektual, pengalaman Hanafi di brotherhood sangatlah bermakna. Melalui brotherhood inilah dia mengenal penulis- penulis Pergerakan Kontemporer dalam Islam.

Dia Mengakui bahwa tulisan- tulisan pemimpin brotherhood seperti Hasan al- Banna, sayyid Qutb, dan Muhammad al-Ghazali banyak memberinya inspirasi. Dengan membaca karaya- karya mereka, Hanafi memiliki rasa yang kuat terhadap kebangkitan Islam dan misi pribadi.
Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung pada tahun tahun 1960 an; periode kedua pada tahun tahun 1970 an, dan periode ketiga dari tahun tahun 1980 an sampai dengan 1990 an.
Pada awal dasawarsa 1960 an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham faham dominan yang ber¬kembang di Mesir, yaitu nasionalistik sosialistik po-pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956 1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal the¬ory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontempo¬rer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un¬tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d' Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.



Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya.
Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya, Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistikyang ada.
Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970 an, Hanafi juga memberikan perhatian uta¬manya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan tulisannya lebih bersifat populis. Di awal peri¬ode 1970 an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al Islam. Pada tahun 1976, tulisan tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.
Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi pro¬blema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemi¬kiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.
Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.
Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan dengan sebab sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior.


Untuk yang pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al Istighrab (Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara tahun tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pe¬merintah. Pada saat yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober 1981. Keadaan itu membawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah kemudian ia menulis Al Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952 1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan "Kiri Keagamaan" yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta "Kiri Islam dan Integritas Nasional". Dalam analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti bukti penyebab muncul¬nya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganali¬sis penyebab munculnya radikalisme Islam.
Karya karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972 1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977.


Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Is¬lam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara aga¬ma dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan feno¬menologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu ilmu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu ilmu ushuluddin, dan filsafat.
Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk dise¬suaikan dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980 an sampai dengan awal 1990 an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al Aqidah ila Al Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas.

Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris, populis, dan transformatif.
Selanjutnya, pada tahun tahun 1985 1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid).
Selain berisi kajian kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi juga berisi kajian kajian ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi.
Fokus pemikiran Hanafi pada karya karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa 1970 an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980 an hingga sekarang.
Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.



Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab.
Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme) sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang.
Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal.

C. Sekitar Pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi Tradisional Islam
Di muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang modernis liberal, karena ide ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.

Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial poli¬tik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte sekte dan budaya lama. Teolo¬gi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata¬-kata, bukan dialektika konsep konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.
Sementara itu konteks sosio politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.
Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang me¬manfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya meru¬pakan cita cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni. Dalam konteks ini, teologi merupakan proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci.
Ia.menegaskan, tidak ada arti arti yang betul betul berdiri sendiri untuk seti¬ap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, ada¬lah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah naskah itu.
Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bah¬wa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdi¬ri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi.

Kebe¬naran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.
Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep konsep dan argumen argumen antara individu individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan kepentingan yang bertentangan.
Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebe¬basan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Teologi baru itu ha¬rus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakap¬an. Karena itu pula harus tersusun secara kemanu¬siaan.
Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, ada¬lah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam me¬miliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketunduk¬an; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu re¬zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.



Secara generik, istilah aslama adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu menolak segala kekuasaan yang tidak transendental dan menerima kekuasaan transendental. Makna ganda dari kata kerja aslama dan kata benda Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual masyarakat muslim. Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai nilai universal agama pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan politik.
D. Tradisi, Pembaharuan, dan Modernitas
Di dalam autobiografinya dan dalam tulisan- tulisan lain, Hanafi mengidentifikasikan proyek seumur hidupnya sebagai penelitian dan pengembangan Al-Turats wa al Tajdid, atau “Tradisi dan Pembaharuan”, Proyek ini terdiri dari suatu keseimbangan antara penegasan keontetikan dan keuniversalan Islam yang kuat dan sebuah kritik atas sebagian besar bentuk dan artikulasi Islam dalam pengalaman sejarah yang aktual. Pada konteks paruh kedua abad ke- 20, Hanafi mengidentifikasi pembaharuan dengan modernitas dan sering berbicara tentang “ Tradisi dan Modernitas” selain Tradisi dan Pembaharuan”.
Hanafi berpendapat bahwa pada masa transisi besar dan transformasi penting, kajian hubungan antara tradisi dengan kondisi baru penting sekali. Menurut Hanafi, Muslim di era modern benar- benar terlibat dalam transisi semacam itu.Dalam analisisnya mengenai situasi akhir- akhir ini, dia katakan bahwa gerakan- gerakan reformasi dan pembaharuan agama secara umum memberikan penekanan yang lebih besar pada “ keontetikan daripada Modernitas,” sedangkan kecenderungan intelektual pada masalah- masalah kebangkitan lebih dekat dengan “modernitas”dibandingkan “ keontetikan”.



Tetapi, dia mengingatkan bahwa keduanya berkaitan dan “ keontetikan” tanpa “ modernitas” semata- mata hanya menjadi pengulangan hal- hal lama tanpa diperiksa dan “ modernitas “ tanpa “keontetikan” menjadi radikalisme prematur yang tidak dapat diteruskan.[ ]
“ Tradisi ” ( turath ) merupakan subyek perdebatan yang hebat di antara para intelektual dan sarjana Muslim di dunia. Secara umum dipahami, paling tidak dalam argumen- argumen dunia Arab, bahwa istilah tersebut merujuk pada “ Elemen Islam” dalam budaya dan sejarah.Dalam penelitian tentang ilmu pengetahuan hermeneutika, Hanafi memandang kasus yang berkenaan dengan Islam sebagai penyedia sarana untuk memperluas ilmu pengetahuan agar lebih berarti dari pada ilmu pemahaman. Pada penelitiannya tentang hermeneutika, Hanafi memberikan swebuah metode khusus untuk menginterprestasikan Al- Qur’an sebagai suatu yang penting untuk memahami tradisi. Menurut Hanafi, sebagian besar interprestasi yang berkenaan dengan al- Qur’an memandang al- Qur’an sebagai rangkaian ayat yang harus dipahami sebagai hal yang terpisah dari suatu rangkaian.
E. Ilmu Pengetahuan Baru tentang Occidentalism ( Hal- hal yang berkaitan dengan Dunia Barat )[ ]
Meskipun bagian yang paling menonjol dari kaya Hanafi berkaitan dengan Islam, penelitiannya terhadap peradaban Barat juga membentuk suatu bagian yang terpenting dari proyek hidupnya.
Pada awal karyanya sebagai mahasiswa di Paris, interaksi antara penelitian Islam dan Barat dapat dilihat dengan jelas 3 monografi pertamanya, yang ditulis sebagai penelitian doktoralnya, merefleksikan hal ini.
Salah satunya yaitu:
 Penelitian tentang metode pemahaman bidang pengetahuan dasar dalam penelitian Islam , yang disebut Ilmu pengetahuan Ushul Fiqh.
 Analisis metode fonomenologi dalam kaitannya dengan agama.
 Aplikasi metode- metode tersebut dalam sebuah penelitian terhadap perjanjian baru.
Tujuan Hanafi, dalam kerangka pertama adalah untuk menciptakan suatu ilmu untuk memahami Barat. Dalam hal ini harus paralel dengan Orientalis, yang merupakan usaha Barat untuk memahami “ Timur ” secara umum, termasuk Islam. Dia sebut ilmu baru tersebut dengan nama Oksdentalisme.
Oksidentalisme memiliki tempat di beberapa proyek dan visi Hanafi. Pertimbangannya adalah sederhana dan praktis. Hanafi tertarik dengan sejarah Barat dan sering mengajar mata kuliah yang menjelaskan Barat. Salah satu aspek perkembangan konsepnya tentang oksidentalisme adalah pragmatis dimana dia perlu memahami materi dan tulisan yang diperlukan untuk tugasnya ini. Dia tidak puas dengan visi Eurocentris Barat didasarkan pada penelitiannya sendiri secara intensif dan bekerja sesuai naskah- naskah.Untuk mata kuliah ini Hanafi mempersiapkan bunga rampai ( dalam terjemahan berbahasa Arab ) tentang pemikiran Kristen dalam masa pertengahan, dengan penekanan khusus pada Agustine, Analesm, dan Acquinas, dan dia menerjemahkan dan menganalisis karya- karya besar Spinoza, Lessing, Sartre dan pemikiran- pemikiran Barat lainnya.
Kerangka kedua dimana Hanafi mengembangkan konsep Oksidentalisme adalah sebagai respon langsung terhadap Imperealisme dan Orientalisme Barat. Orientalisme menjadi sebuah cara untuk melakukan dua hal : memberikan kritik terhadap peradaban Barat dari sudut pandang nonbarat dan mengungkapkan kultur “ Orient ” yang perlu didominasi.
Kerangka ketiga adalah dimana pandangan Hanafi tentang Oksidentalisme merupakan perkembangan pemikiran yang menyuarakan pentingnya “ Ilmu Pengetahuan Sosial Baru”.Oksidentalisme menjadi cara Hanafi untuk membahas Barat dengan cara yang sama ketika Hanafi mengamati tradisi Islam.



BAB III
KESIMPULAN
Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern.Kedudukan Hanafi pada masyarakat Mesir merupakan contoh“ Intelektual ”. Dia tidak mendirikan organisasi politik, dia bukan pimpinan langsung dari pergerakan politik.Tujuan utamanya adalah memberikan rekonstruksi rangkaian menyeluruh tentang pemikiran Islam karena hal tersebut berkaitan dengan masyarakat dan komunitas dunia Islam.
Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung pada tahun tahun 1960 an; periode kedua pada tahun tahun 1970 an, dan periode ketiga dari tahun tahun 1980 an sampai dengan 1990 an.
Pada awal dasawarsa 1960 an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham faham dominan yang ber¬kembang di Mesir, yaitu nasionalistik sosialistik po-pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956 1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.


Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal the¬ory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontempo¬rer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un¬tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d' Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya.
Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya, Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistikyang ada.
Pada konteks paruh kedua abad ke- 20, Hanafi mengidentifikasi pembaharuan dengan modernitas dan sering berbicara tentang “ Tradisi dan Modernitas” selain Tradisi dan Pembaharuan”.
Hanafi berpendapat bahwa pada masa transisi besar dan transformasi penting, kajian hubungan antara tradisi dengan kondisi baru penting sekali. Menurut Hanafi, Muslim di era modern benar- benar terlibat dalam transisi semacam itu.Dalam analisisnya mengenai situasi akhir- akhir ini, dia katakan bahwa gerakan- gerakan reformasi dan pembaharuan agama secara umum memberikan penekanan yang lebih besar pada “ keontetikan daripada Modernitas,” sedangkan kecenderungan intelektual pada masalah- masalah kebangkitan lebih dekat dengan “modernitas”dibandingkan “ keontetikan”.

Pada awal karyanya sebagai mahasiswa di Paris, interaksi antara penelitian Islam dan Barat dapat dilihat dengan jelas 3 monografi pertamanya, yang ditulis sebagai penelitian doktoralnya, merefleksikan hal ini.
Salah satunya yaitu:
 Penelitian tentang metode pemahaman bidang pengetahuan dasar dalam penelitian Islam , yang disebut Ilmu pengetahuan Ushul Fiqh.
 Analisis metode fonomenologi dalam kaitannya dengan agama.






















DAFTAR PUSTAKA

 John L.Esposito- John O.Voll, ”Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer”,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 ).
 Issa J. Boullatta, "Hassan Hanafi: Terlalu Teoretis untuk Dipraktekkan", tulisan pendek yang diterjernahkan oleh Saiful Muzani dalam Islamika.
 Abdurrahman Wahid, "Pengantar'” dalam ldeologi. ( Jakarta : PT. Gramedia Utama , 2000 )
 www.Islamlib.com

No comments:

Post a Comment